Suara Kebutuhan Perempuan Perlu disuarakan PKK Seluruh Kota Yogyakarta

[Kamis, tanggal 22 Februari 2023] Ashilly Achidsti, MPA, dosen dari Departemen Administrasi Publik Universitas Negeri Yogyakarta menjadi salah satu narasumber dalam Pendidikan Politik bagi Kelompok Perempuan yang diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Yogyakarta. Hadir pula Indaruwanto Eko Cahyono (perwakilan dari Komisi A DPRD Kota Yogyakarta) dan Veny Hidayat, M.Psi., Psikolog (psikolog).

Pendidikan Politik kali ini memiliki tema “Aktivisme Perempuan Yogyakarta dalam Partisipasi Politik yang Bermakna”. Pendidikan politik ini bertujuan meningkatkan partisipasi politik perempuan pasca Pemilu 2024 dan menjelang Pilkada 2024. Dibuka sambutan oleh Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Yogyakarta, Nindyo Dewanto, M.Hum, beliau menyampaikan bahwa gerakan politik perempuan perempuan perlu sensitive dan bersiap dengan isu-isu perempuan yang disuarakan pasca pemilu dan menyambut pilkada 2024.

Sekitar 70 perwakilan dari Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) seluruh Kota Yogyakarta hadir di Hotel Royal Darmo Malioboro Hotel. Dalam acara tersebut Ashilly menyampaikan sejarah gerakan perempuan yang berhasil mempengaruhi beberapa kebijakan di Indonesia dan tentang perencanaan serta penganggaran responsif gender. Usulan-usulan yang disampaikan oleh beberapa perwakilan dari berbagai kemantren bermunculan dan beragam. Salah satunya menyoroti pendidikan politik bagi anak sekolah tentang pencegahan politik uang serta mengkritisi tentang peran ayah dalam pengasuhan anak yang terbatas.

Kritik peserta juga menyoroti bahwa praktik politik yang kental dengan politik uang banyak menjegal calon-calon legislatif perempuan yang akan maju. Meskipun pemilih pemilu tahun 2024 di Kota Yogyakarta sekitar 51 persen berasal dari pemilih perempuan, nyatanya calon legislatif yang mencalonkan diri masih ada di bawah 20 persen.

Urgensi Gerakan Perempuan dalam Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender

Dimulai dengan menjelaskan adanya Inpres Pengarusutamaan (Inpres) Gender Nomor 9 Tahun 2000 yang disahkan di era Presiden Abdurrahman Wahid, Ashilly menjelaskan bahwa semangat kebijakan tersebut adalah melibatkan perempuan mulai dari proses perencanaan, implementasi, monitoring, hingga evaluasi kebijakan. Inpres tersebut tidak bisa terlepas dari hasil gerakan perempuan pasca orde baru yang mengupayakan pelibatan perempuan dalam kebijakan.

Inpres tersebut menurunkan berbagai upaya perubahan strategis responsive gender seperti perencaaan dan penganggaran responsif gender. Ashilly menyampaikan bahwa peran ibu-ibu PKK yang mengerti lingkungan sekitar sangat penting suaranya tentang pengalaman perempuan dalam kebijakan.

Akhir sesi, Ashilly menyampaikan bahwa ada beberapa poin kacamata responsif gender yang bisa dijadikan acuan untuk menyuarakan kebutuhan masyarakat untuk kebijakan inklusif, yaitu: 1) Hak hidup yang aman; 2) Kesetaraan akses baik ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya; serta 3) Pengalaman biologis khas perempuan yang perlu dijawab oleh kebijakan yang inklusif.

Label Berita: